Aan Anshori ->>Freedom to Speak
Thursday, May 24, 2007
MENUJU KEDAULATAN KOMUNITAS DENGAN PILKADES BERSIH

§ Apakah PILKADES BERSIH itu?

Pilkades bersih adalah upaya menyelenggarakan pesta demokrasi di tingkat desa dengan menekan terjadinya penyelenggaraan pilkades berbiaya tinggi. Targetnya, setiap warga bisa mencalonkan dirinya dalam pilkades TANPA harus kuatir dibebani pendanaan penyelenggaraan pilkades.

§ Kenapa pilkades bersih itu penting?

Pada prakteknya, pilkades biaya tinggi selalu membebankan hampir seluruh pembiayaan pilkades kepada cakades. Jika hal ini terjadi maka pilkades hanya ’milik’ orang-orang yang berkantong tebal. Sepanjang tidak memiliki modal ’finansial’ yang besar, maka jangan harap individu yang amanah, berkredibilitas tinggi, punya visi kepemimpinan yang kuat dan didukung masyarakat, bisa ikut terlibat dalam pesta ini. Pendek kata ; ’Orang Miskin DILARANG NYALON!’.

Sistem dan tradisi pilkades yang kacau ini hanya akan melahirkan kades yang sepanjang kepemimpinannya akan terus disibukkan dengan pikiran ’kapan dan bagaimana modal bisa balik’. Maka tidak usah heran jika transparansi aset desa maupun dana stimulan menjadi buram. Tidak perlu marah dan geram jika kades tidak mau melakukan proses pertanggungjawaban ke publik, atau jangan gelo kalau pungutan liar dalam pengurusan layanan publik di desa menjadi tinggi. Segala cara dilakukan oleh kades seperti ini agar bisa cepat balik modal, bahkan bila perlu melakukan perselingkuhan indah dengan BPD.

§ Kenapa Pilkades sampai berbiaya tinggi?

Jika dilacak, selama ini sesorang yang ingin nyalon akan dihadapkan oleh 2 model pengeluaran (saya lebih suka menyebutnya sebagai; pungli) ; formal dan informal.

Pengeluaran informal adalah biaya yang terpaksa dikeluarkan diluar yang sudah ditetapkan oleh panitia pilkades. Pengeluaran model ini bentuknya bisa bermacam-macam, mulai dari biaya tasyakuran, uang silaturahmi (serangan fajar), sampai pungutan liar disaat mengurusi persyaratan administrasi di tingkat kecamatan.

Sedangkan pengeluaran formal adalah seluruh daftar permintaan yang yang ditetapkan oleh panitia pilkades kepada calon, semisal biaya terop, seragam hansip dan panitia, biaya keamanan dan asistensi dan lain-lainnya. Dari sekian banyak ’tanggungan’, agaknya pos anggaran yang diperuntukkan sebagai uang pengganti kerja (UPK) pemilih merupakan item yang biasanya paling besar. Dengan jumlah pemilih sekitar 4.000 orang, panitia pilkades di salah satu desa di kecamatan Megaluh menetapkan UPK sebesar Rp. 35.000/per pemilih. Sehingga total pos ini saja sudah mencapai Rp. 140 juta!

Singkatnya, calon merupakan obyek sapi perahan yang jadi bulan-bulanan atas nama pilkades. Sedangkan aset-aset desa yang seharusnya digunakan sebagai basis pendanaan malah tidak tersentuh.

§ Bisakah menghapus UPK padahal ini sudah menjadi tradisi turun-temurun? Dan apa dampaknya bagi pilkades jika tradisi ini dihilangkan?

UPK (menurut saya) merupakan bagian dari upaya ’tepo sliro’ di kebudayaan kita. ’Kebaikan’ itu pada saat ini sudah berubah menjadi semacam virus jahat bagi pendidikan politik warga negara, yaitu memaksa pemilih untuk menggunakan haknya jika ada imbalannya (uang). Ini tentu sangat membahayakan dan sudah saatnya untuk dihentikan. Bisakah? Tentu saja. Angka kehadiran warga ke TPS dalam pemilu dan pilpres 2004 di atas 75% meskipun mereka tidak mendapatkan UPK. Dalam penyelenggaraan pilkades di desa Kauman Mojoagung –sekitar tahun 1996- tingkat kedatangan pemilih ke bilik suara lebih dari 75%, dan tanpa ada UPK.

§ Bagaimana kalau separo lebih pemilih menolak datang ke TPS karena tidak ada UPK, apakah pilkades tetap sah?

Menurut draft Perbup tentang Petunjuk Teknis Tata Cara Pencalonan dan Pemilihan Kepala Desa, tidak ada ketentuan jumlah pemilih yang harus hadir dalam pemungutan suara. Berapapun jumlah pemilih yang hadir tidak mempengaruhi keabsahan pelaksanaan pemilihan, dan calon terpilih adalah calon yang mendapatkan suara terbanyak dari jumlah pemilih yang hadir

§ Bagaimana Merancang PILKADES Bersih?

Pada prinsipnya perancangan pilkades bersih ini bertumpu dari sumber pendanaan untuk penyelenggaraan pilkades. Kuncinya terletak pada revitalisasi aset-aset desa, misalnya tanah ganjaran mantan kades, tanah ganjaran perangkat yang tidak aktif, dana insentif BKD dan pemasukan lain-lainya seperti yang biasa tercantum dalam pos penerimaan APB Desa, ditambah dengan dana dari pemerintah kabupaten. (Ingat, menurut Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 Tentang Desa, biaya pilkades ditanggung oleh APBD Kabupaten).

Sebagai contoh, hasil perhitungan revitalisasi di desa x di kecamatan Megaluh:

  1. Hasil penyewaan selama 1 tahun
    • Tanah ganjaran kades 7 Ha @Rp. 7 juta = Rp. 49.000.000
      • Tanah ganjaran perangkat yang kosong = Rp. 11.000.000
        • Tanah ganjaran mantan Kadus = Rp. 8.000.000
  2. Insentif BKD = Rp. 2.700.000
  3. Estimasi dana dari pemkab = Rp. 5.000.000 +

= Rp. 75.700.000

§ Apa saja yang perlu dilakukan untuk merealisasikan pilkades bersih

  1. Membentuk kelompok di level desa untuk memperjuangkan dan mengkampanyekan pilkades bersih
  2. Melakukan gerakan penguatan kesadaran akan pentingnya penyelenggaran pilkades bersih untuk melahirkan cakades yang benar-benar kredibel
  3. Menguasai keanggotaan BPD dan kepanitiaan pilkades karena 2 lembaga ini bersama Pjs Kades yang berwenang membuat tata tertib
  4. Mendesakkan adanya semacam kontrak politik antarcakades dalam penyampaian visi dan misinya. Kalau perlu kontrak tersebut disahkan oleh notaris.
  5. Melakukan pemantauan dan pengawasan pelaksanaan pilkades
  6. Melakukan konsolidasi ke seluruh elemen masyarakat desa untuk menjamin keamanan selama penyelenggaraan pilkades

§ Apa saja tantangan untuk mewujudkan pilkades bersih

  1. Apatisme dan pragmatisme masyarakat yang memang sudah dibentuk sedemikian rupa oleh sistem selama ini
  2. Adanya potensi pelegalan pembebanan biaya pilkades kepada cakades dalam draft perbup tentang petunjuk teknis tata cara Pencalonan dan Pemilihan Kepala Desa
  3. Belum adanya kejelasan dari pemerintah kabupaten terkait penggunaan tanah ganjaran/bengkok; apakah kembali ke kas desa atau masih bisa digarap oleh mantan kepala desa
  4. Belum disosialisasikannya perda 2007 terkait desa maupun petunjuk teknisnya

baca selengkapnya..
posted by Aan Anshori @ 10:13 PM   0 comments
About Me

Name: Aan Anshori
Home: Jombang, Jawa Timur, Indonesia
About Me:
See my complete profile
Previous Post
Archives
Shoutbox

Links
Powered by

Free Blogger Templates


Free Hit CounterBLOGGER