Aan Anshori ->>Freedom to Speak
Wednesday, August 22, 2007
Wawancara Dengan KH.Husein Muhammad; Perubahan Kondisi Perempuan Harusnya Dijadikan Rujukan Penentuan Hukum


MEDIA-PARTISIPASI. Dikenal sebagai kiai yang punya kepedulian mengadvokasi persoalan perempuan melalui teks-teks agama, KH. Husein Muhammad -pengasuh PP. Darut Tauhid Arjawinangun Cirebon- ini menilai para ulama sepakat memperbolehkan seorang muslim kawin dengan perempuan ahli kitab. Namun tidak sebaliknya, laki-laki ahlul kitab dengan muslimah. Kenapa? disinilah Husein Muhammad merasa dunia patriarkhi para ulama ikut memainkan peran dalam menafsirkan teks.
Berikut wawancara yang dilakukan oleh Aan Anshori (Media Partisipasi) dengan kiai feminis -yang akrab dipanggil Kang Husein- ini via telpon beberapa waktu lalu.

Aan: Kang, bagaimana anda memaknai konsep pernikahan beda agama dalam perspektif pluralisme dan keadilan gender

HM: Dalam pemikiran dan teks-teks agama, saya kira, perkawinan beda agama itu dibagi dua. Perkawinan antara muslim dan ahlul kitab (Yahudi dan nasrani) serta muslim dengan orang musyrik. Untuk perkawinan yang pertama terdapat dua bentuk yaitu laki-lakinya muslim dan perempuannya ahli kitab, untuk yang kedua sebaliknya.Untuk bentuk yang pertama (laki-laki muslim dan perempuan ahli kitab), dalam kitab al fiqhu ‘ala madzahib al arba’ah karya al Jaziry, semua madzhab empat sepakat memperbolehkannya dengan alasan lianna lahunna diinan samawiyyan wa kitaban (karena mereka memiliki agama samawi beserta kitabnya)

Aan: Jadi apa bisa dikatakan secara naqliyah (dalil teks) maupun aqliyah (penalaran akal) perkawinan beda agama diperbolehkan?

HM: Saya pikir untuk bentuk pertama jelas boleh. Secara naqliyah sudah jelas, semua ulama menggunakan surat al Maidah -yang turun belakangan- untuk mengabsahkannya. Bahkan sejumlah sahabat telah mempraktekkan itu . Terkait pertanyaan apakah ahlul kitab sekarang berbeda dengan ahlul kitab dahulu, saya rasa tidak ada bedanya. Toh dari dulu mereka (nasrani) mempunyai kepercayaan yang sama dengan sekarang; bahwa ‘isa ibnu alloh. Secara logika perkawinan itu cinta kasih yang –saya rasa- sangat sulit sekali untuk dibatas-batasi.Jadi atas dasar cinta kasih itulah perkawinan bisa langgeng. Yang menarik adalah argumen logika yang dikemukakan oleh Wahbah dalam kitab al fiqhu al islami wa adzillatuhu. Menurutnya perkawinan itu boleh karena ada sejumlah persamaan prinsip antara dua agama itu ;
pengakuan akan Tuhan, keimanan kepada para utusan Tuhan, dan kepercayaan pada hari akhir termasuk pertanggungjawaban amal. Beberapa prinsip ajaran ini menurutnya pada umumnya dapat menjamin “istiqomah” (stabilnya) kehidupan perkawinan mereka. (Wahbah, IX/6653)

Aan: Kenapa mainstream ulama Indonesia melarang hal tersebut?

HM: Ya kita semua tahu MUI mengeluarkan fatwa pelarangan. Saya kira yang melatarbelakanginya adalah kasus dimana Umar menganjurkan untuk tidak melakukan perkawinan model ini dengan pertimbangan kekuatan mereka (kaum kafir) menjadi bertambah dan dikhawatirkan menimbulkan fitnah. Akan tetapi hal itu disanggah oleh sahabat lain.

Aan: Bagaimana dengan argumen kebahagian rumah tangga hanya bisa dicapai dengan kesamaan keimanan.

HM: Saya pikir kebahagiaan itu sangat relatif ya. Terkadang justru perkawinan model seperti itu bisa langgeng selama keduanya bisa memahami. Jadi sangat relatif. Saya sendiri tidak bisa sepenuhnya menyetujui argumen itu karena banyak sekali fakta permusuhan dan perceraian terjadi dalam perkawinan satu agama dan juga terdapat fakta perkawinan beda agama bisa langgeng.

Aan: Lantas dimana letak terjadinya ketidakadilan gendernya?

HM : Ketidakadilan itu terjadi ketika tidak berlaku sebaliknya (bentuk kedua; laki-laki ahlul kitab dan perempuannya muslimah). Semua ahli fiqh ittifaq (sepakat) untuk tidak memperkenankan model seperti ini. Dengan argumentasi perempuan-perempuan akan selalu mengajak ke neraka seperti dalam (al Baqarah 221). Jadi sangat terlihat unsur budaya patriarkhi/otoritas laki-laki. Padahal hukum kan punya logika sendiri. Artinya kalau dulu ketidakbolehannya lebih disebabkan kaum perempuannya terbelakang, tidak berpendidikan dan akses ekonomi dimonopoli oleh laki-laki. Namun sekarang kondisi perempuan kan jauh lebih maju sehingga mereka mampu mengambil keputusannya sendiri. Maksud saya apakah perubahan kondisi perempuan saat ini tidak berkonsekuensi atas produk hukum tertentu? Seharusnya berubah kan. Akan tetapi penggunaan cara berfikir logis seperti ini juga akan banyak menuai kecaman. Karena seandainya pun hasil dari logika ini dijalankan saat ini pun maslahahnya belum tentu terjadi secara massif.

Aan: Lho kalau begitu siapa dong yang punya otoritas menentukan kemaslahatan?

HM: Menurut saya itu pertanyaan mendasar yang harus dijawab pada level paradigmatik dan epistimologis. Saya kira otoritas tersebut adalah kesepakatan (konsensus/ijma’) para ahli, para mujtahid, meskipun ini akan sulit diterima oleh pandangan mainstream, karena akan dipandang bertentangan dengan nash “qath’i”. Sampai hari ini mayoritas ulama masih teguh dengan pendapatnya bahwa ijma’ sekalipun tidak bisa menentukan jika bertentangan dengan nash qath’i.”la ijtihad ma’a al nash”, begitu pegangan mereka. Akan tetapi jika metode ini masih tetap dipertahankan, maka mereka akan kesulitan menjawab soal perbudakan. Siapa yang punya otoritas menghapuskan perbudakan, padahal terdapat banyak nash al Qur-an yang masih mengabsahkannya?

Aan: Begitu ya, sepertinya untuk urusan perkawinan ini dianggap sudah final, tidak boleh diotak-atik lagi. Apa mungkin karena perkawinan dianggap sebagai ibadah yang tidak boleh didekati secara logis?

HM: Semua memang bilang begitu, annikakhu sunnati. Tapi kalau dipikirkan lebih mendalam sebetulnya hal itu biasa-biasa saja. Nikah bisa berhukum halal, sunnah, mubah bahkan haram tergantung dari kehendaknya. Dalam Tafsir al Kabir karya Fakhruddi ar Rozy, terjadi perbedaan pemikiran antara Syafi’i dan Abu Hanifah. Imam Syafii menyampaikan 10 argumen untuk menyimpulkan bahwa ibadah lebih utama dari perkawinan. Memang benar, secara umum semuanya dalam Islam bisa dianggap ibadah akan tetapi karena cakupan dari perkawinan ini juga melibatkan individu dan masyarakat (hubungan antar personal) maka berlakulah hukum-hukum sosial.

baca selengkapnya..
posted by Aan Anshori @ 9:45 PM  
0 Comments:
Post a Comment
<< Home
 
About Me

Name: Aan Anshori
Home: Jombang, Jawa Timur, Indonesia
About Me:
See my complete profile
Previous Post
Archives
Shoutbox

Links
Powered by

Free Blogger Templates


Free Hit CounterBLOGGER