Aan Anshori ->>Freedom to Speak
Tuesday, August 21, 2007
Potret Buram Raperda Pelacuran Jombang
Dalam catatan sejarah, fenomena pelacuran memiliki usia yang hampir sama tuanya dengan sejarah itu sendiri. Meski dikutuk oleh seluruh umat manusia namun sejarah tetaplah sejarah yang tidak mampu melenyapkan hal yang satu ini. Yang terjadi hanyalah sebatas fluktuasi dari perkembangan eksistensi prostitusi itu sendiri sesuai masanya. Kegagalan ’pembumihangusan’ hal itu sangatlah masuk akal dikarenakan kompleksitas masalah yang selalu muncul melatarbelakanginya. Dulu banyak anggapan motivasi seseorang menjadi pelacur berangkat hanya dari problem individual yang dikaitkan dengan aspek moralitas-personal. Namun dalam konteks saat ini, membaca fenomena pelacuran tidaklah mungkin sesederhana itu. Problem pemiskinan struktural selama ini mau tidak mau harus menjadi hal penting untuk disadari.

Akibat himpitan kondisi ekonomi ditambah dengan ketidakbecusan pemerintah dalam –salah satunya- menertibkan mafia pelacuran berkedok jasa penyalur tenaga kerja, tidak sedikit seseorang dipaksa menjalani hal ini. Bahkan beberapa waktu lalu, akibat tidak mampu membayar SPP, seorang siswi kelas akhir di salah satu SMU di Mojokerto terpaksa mendatangi lokalisasi di kota tersebut.
Didepan para pengurus yayasan lokalisasi itu, siswi tersebut berniat ’tinggal’ (baca: melacur) sampai lulus sekolah. Tentu saja keinginan itu ditolak mentah-mentah oleh pengurus tersebut. Akhirnya, bersama siswi tersebut dan orang tuanya, mereka mendatangi pihak sekolah dan yayasan tersebut menyatakan kesediaannya menanggung biaya pendidikannya. Sayang niat baik ini tidak dikabulkan oleh sekolah dengan alasan yang tidak jelas. Bahkan masalah baru pun muncul, oleh karena dianggap telah mencemarkan nama baik sekolah, siswi tersebut mengaku diberi dua pilihan; tetap melanjutkan di sekolah tersebut tapi tidak akan diluluskan atau akan diluluskan tapi harus pindah sekolah. Meskipun akhirnya pihak sekolah menyangkal telah memberinya pilihan tersebut.
Para korban trafficking dan siswi tersebut –biasanya- oleh banyak kalangan dianggap masih punya pilihan untuk tidak mengambil jalan tersebut, akan tetapi yang perlu disadari, pada dasarnya mereka sebenarnya tidaklah ’sepenuhnya bebas’ menentukan pilihannya. Sebab, realitas sosial lah –dalam bentuk kemiskinan, lemahnya law enforcement dan rendahnya kualitas pendidikan- yang menentukan apa yang bisa dan boleh dipilih oleh mereka.

Dalam paradigma kritis, prostitusi merupakan dampak logis dari ketidakmampuan negara dalam menjalankan kewajiban memenuhi hak-hak masyarakatnya. Maka logisnya, seluruh mimpi pembumihangusan persoalan pelacuran ini tidak boleh lepas dari paradigma tersebut. Jika tidak, maka yang akan terjadi tidak lebih dari sekedar upaya cuci tangan negara dengan cara yang khas; stigmatisasi dan dehumanisasi pelacur melalui kebijakan publik yang naif. Alih-alih mengingatkan negara agar melakukan kajian komprehensif terlebih dahulu dan berhati-hati dalam mengambil kebijakan, kaum agamawan –seperti biasanya- lebih suka mencitrakan wajah agama dalam sketsa yang garang, subyektif-parsial dan tidak berpihak pada kaum tertindas. Cap kemungkaran begitu kuat dilekatkan oleh mereka terhadap pelacuran, tanpa merasa perlu terlebih dulu diverifikasi secara kritis latar belakang terjadinya dari berbagai perspektif, termasuk HAM dan keadilan gender. Ini tentu saja ahistoris, mengingat para agamawan tempo dulu tidak akan segegabah itu dalam melakukan istinbath hukum tanpa terlebih dahulu mendalami sebuah persoalan. Imbas dari kegegabahan ini menyebabkan, pertama, makin kuatnya stigmatisasi dan dijadikannya para pelacur sebagai ’common enemy’ yang dikesankan boleh diperlakukan sewenang-wenang. Kedua, memberikan justifikasi kepada negara untuk melakukan proses cuci tangan mereka. Klop sudah. Kita tahu dalam sejarahnya, kelompok agamawan merupakan tandem ideal sebuah rezim dalam melaksanakan kepentingannya.
Setidaknya gambaran buram pembacaan sepihak yang dilakukan oleh negara dan kaum agamawan atas fenomena pelacuran diatas juga terjadi di Jombang. Barangkali tidak banyak yang tahu kalau beberapa waktu lalu, melalui hak inisiatifnya, DPRD telah menghasilkan sebuah rancangan peraturan daerah (raperda) tentang pelacuran. Raperda ini diproyeksikan akan mengganti Perda untuk Menutup Rumah Pelacuran dan Perda untuk Mencegah Pelacuran di Jalan, keduanya tertanggal 4 Juli 1953. Menurut informasi, sejak tahun 2003 pemerintah kabupaten Jombang (ekesekutif) sudah mempersiapkan draft raperda ini satu paket dengan raperda yang mengatur minuman keras, namun tertunda karena beberapa faktor. Entah karena alasan apa, akhirnya DPRD memutuskan menggunakan hak inisitifnya untuk mengambil alih pembahasan kedua raperda tersebut serta membentuk panitia khusus (pansus) untuk mengawalnya. Khusus mengenai raperda pelacuran, kejanggalan pun mulai muncul, diantaranya, proses sosialisasi raperda tersebut hingga saat ini belum dilakukan secara maksimal ke publik meskipun kajian (workhshop) internal antara pansus dan lembaga pemerintah sudah kerap dilakukan. Yang paling fatal, naskah akademik yang merupakan syarat mutlak dibuatnya sebuah aturan hukum sampai sekarang belum pernah diperlihatkan ke khalayak umum. Akibatnya bisa ditebak, hasil raperda pun kacau balau. Bukan hanya meletakkan para pelacur sebagai pihak yang ter-dehumanisasi namun raperda ini juga membahayakan kehidupan masyarakat umum. Marilah kita lihat beberapa definisi yang terdapat dalam raperda.

Pelacuran adalah setiap persetubuhan dan/atau perbuatan cabul yang dilakukan oleh pelacur
Persetubuhan adalah perbuatan sepasang orang atau lebih, sejenis atau berlainan jenis kelamin yang menggunakan alat kelamin.
Perbuatan cabul adalah perbuatan sepasang orang yang sejenis dan/atau berbeda jenis kelamin yang bertujuan memuaskan hawa nafsu perkelaminan yang menyimpang dari kesusilaan, kesopanan dan agama.
Pelacur adalah seseorang dengan jenis kelamin apapun yang menyediakan diri kepada orang lain untuk melakukan persetubuhan dan atau perbuatan cabul untuk tujuan komersial.

Kalau dicermati secara seksama, terdapat dua kesalahan fundamental yang ada dalam definisi diatas. Pertama, tidak adanya kejelasan antara ruang publik dan ruang privat terkait di ruang (domain) mana aktivitas perbuatan cabul dan persetubuhan akan dikategorikan sebagai tindak pidana pelacuran. Sangat bisa jadi razia akan dilaksanakan di tempat-tempat pribadi. Seharusnya yang diatur oleh negara dalam konteks perda hanya meliputi wilayah publik/umum, tidak bisa mengatur ruang privat seseorang. Misalkan saja, perda anti rokok di Jakarta . Orang hanya akan dikenakan hukuman jika kedapatan merokok di tempat umum. Namun orang bisa dan boleh merokok sampai klenger di rumahnya, sebab perda tidak berlaku di wilayah tersebut. Kedua, kerancuan definisi. Dengan definisi perbuatan cabul diatas maka menjadi penting untuk ditanyakan bagaimana nantinya penyidik akan mengoperasionalkan ’memuaskan hawa nafsu perkelaminan’ diatas? Sampai seberapa jauh batasan dari definisi tersebut?.

Lebih jauh lagi, meskipun mainstream masyarakat kita belum bisa sepenuhnya menerima keberadaan kelompok minoritas - seperti gay, lesbi dan waria, namun dalam perspektif HAM, pilihan orientasi seksual mereka merupakan bagian dari hak yang seharusnya dihormati. Definisi perbuatan cabul diatas nampaknya menegasikan hak kelompok tersebut, yang belum tentu sebagai pelacur
Kembali pada persoalan kejelasan batasan, menarik juga untuk mengamati bunyi pasal 2 ayat (2), dimana disebutkan ”seseorang dilarang memikat orang dengan sikap, perkataan dan atau isyarat yang diduga kuat mengarah pada praktek pelacuran”. Pasal ini sangat menggelikan karena seseorang bisa secara serampangan ditangkap hanya berdasarkan dugaan, tanpa terlebih dahulu didefinisikan unsur-unsur dari ’dugaan’ tersebut. Jika mau dibandingkan dengan–misalnya- orang disangka melakukan pencurian, dalam pasal 362 KUHP dinyatakan, unsur mencuri meliputi mengambil suatu barang yang sebagian atau seluruhnya kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki, dan dilakukan secara melawan hukum. Bila satu dari unsur itu tidak ada, seseorang tentu tidak bisa dikatakan mencuri. Dalam pasal rancangan itu, bagaimana prilaku yang diduga kuat mengarah pada praktek pelacuran didefinisikan? Apakah tersenyum genit, membusungkan dada, mengerlingkan mata, ber-make up sembari merokok dan mengenakan sepatu hak tinggi di jalanan ataupun di dalam mobil sudah pasti hanya dilakukan oleh seorang pelacur?.

Meski tidak secara spesifik merujuk pada jenis kelamin tertentu, pasal ini harus diakui akan sangat merugikan kaum perempuan. Terutama bagi yang harus beraktifitas sampai larut malam seperti buruh pabrik yang lembur maupun ibu-ibu lijo yang harus ke pasar pada dini hari untuk kulakan. Masih segar dalam ingatan kejadian salah tangkap di Tangerang akibat pasal seperti ini. Seorang perempuan biasa ikut digaruk Satpol PP karena keluar malam sendirian setelah pulang dari bekerja.
Raperda ini harus ditolak karena mengabaikan asas praduga tidak bersalah, sehingga sangat memungkinkan akan terjadi kesalahan penangkapan. Parahnya lagi, dalam raperda ini juga tidak memasukkan asas ganti rugi dan rehabilitasi sebagaimana yang dianut oleh hukum pidana nasional. Hal ini terkait dengan – misalnya, hak orang yang terlanjur ditangkap namun tidak terbukti. Kerancuan yang membingungkan barangkali juga terdapat dalam definisi pelacur. Dengan tidak dicantumkannya klausul ’diluar perkawinan yang sah’ dalam definisi itu maka implikasinya, seluruh individu –baik yang terikat dengan komitmen perkawinan atau tidak- yang bersedia melakukan hubungan seksual (persetubuhan) dan hidup menggantungkan kebutuhan ekonominya terhadap salah satu pasangannya, juga dianggap pelacur. Lantas, bagaimana dengan kenyataan sosiologis di masyarakat kita, dimana banyak istri yang oleh karena hidup dalam budaya patriarkhi Jawa, dianggap tidak perlu lagi (atau tidak diperbolehkan?) melakukan aktifitas produktif alias nganggur di rumah, hanya bergantung pada pendapatan suami dan mereka (istri) setiap malam harus bersedia melakukan persetubuhan (dengan suami mereka)? Tidakkah mereka juga masuk dalam definisi ini? Sungguh luar biasa. Fenomena ketidakmampuan dalam membuat peraturan (legislative drafting) ataukah telah terjadi ’pencerahan intelektual maha dahsyat ’ di kalangan para pembahas raperda ini, sehingga memilih untuk mengamini definisi pelacur milik madzhab kaum feminis-radikal?.

Sangsi dan Kewenangan Penyidikan
Menurut hemat saya, meski dalam UU 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sangsi pemidanaan memang boleh diatur dalam peraturan daerah (perda) namun yang tidak boleh dilupakan begitu saja adalah aturan sistem ketatanegaraan kita menganut asas lex superior derogat lex inferior, dimana aturan hukum yang lebih rendah tidak boleh mengoreksi/bertentangan dengan aturan hukum yang lebih tinggi. Pemidanaan dalam persoalan pelacuran ini sudah secara jelas diatur dalam pasal kesusilaan UU tentang KUHP. Sehingga seyogyanya perda hanya bersifat kuratif (pembinaan dan sangsi administratif). Kalaupun toh harus bersifat punitif maka harus masuk dalam kategori pidana ringan. Bukan malah mempidanakan orang yang diduga kuat melakukan praktek pelacuran, dengan kurungan maksimal 3 bulan penjara atau denda setinggi-tingginya Rp. 3.000.000. Hal lain yang juga tidak kalah pentingnya adalah tidak diaturnya secara tegas sangsi bagi para pengguna jasa (users) dalam raperda ini. Sebab, mimpi untuk mengendalikan persoalan ini akan sangat sulit jika menafikan logika supply and demand. Ujungnya lagi-lagi, meletakkan perempuan sebagai pihak yang akan terkena dampak terbesar dari raperda ini

Terkait dengan kewenangan para penyidik, pasal 4 ayat (2) dalam raperda itu merincinya sebagaimana berikut : (a) mencari, menerima laporan, atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana pelacuran, (b) melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian, (c) menyuruh berhenti seseorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri seseorang, (d) melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan, (e) melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat, (f) mengambil sidik jari dan memotret seorang, (g) memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi atau sebagai tersangka, (h) mendatangkan seorang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara, dan (i) mengadakan penghentian penyidikan.
Kalau diamati kewenangan yang terdapat dalam poin (b), maka pertanyaan yang muncul dibenak kita adalah apa yang dimaksud dengan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian? Apakah menyeret, menjambak, mengarahkan muka seseorang yang diduga pelacur ke depan sorotan kamera media massa, sebagaimana yang sering kita lihat di tayangan kriminalitas televisi, menjadi terlegalkan (sah)?. Kalau diakui bahwa ternyata hampir seluruh kewenangan dalam raperda ini diimpor dari pasal 7 KUHAP, maka menjadi dipertanyakan mengapa pasal 7 ayat (3) KUHAP, yang mengatur kewajiban bagi penyidik untuk menjunjung tinggi hukum yang berlaku dalam menjalankan tugasnya, tidak sekalian saja dimasukkan? Hal itu sangat penting sebagai landasan formal pengendali prilaku kesewenangan aparat di kala melakukan tugasnya.

Bagian yang paling mengkhawatirkan jika reperda ini jadi disahkan adalah bagaimana kita nantinya akan menyaksikan para pelaksana tugas dalam mengawal aturan hukum ini, utamanya bagi para penyidik yang –menurut raperda ini- disamping akan diemban oleh polisi juga akan dilaksanakan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil, seperti yang ada dalam pasal 4 ayat (a). Sangatlah mungkin ujung tombak pelaksana dari raperda ini nantinya berada di tangan Satuan Polisi Pamong Praja. Hal ini tentu saja bukan berarti tidak akan menimbulkan persoalan baru. Sebab kewenangan penyidikan yang selama ini biasanya dijalankan oleh tenaga terlatih dan terdidik dari kepolisian, dengan jenjang kepangkatan yang diatur oleh aturan setingkat Peraturan Pemerintah, akan diberikan kepada individu dari kesatuan/institusi yang dikenal tidak memiliki model perekrutan, sistem pendidikan dan pelatihan maupun jenjang kepangkatan sebaik instusi kepolisian. Dikarenakan yang akan menjadi subyek maupun obyek hukum dalam raperda adalah manusia –bisa jadi akan banyak yang berjenis kelamin perempuan- maka patut dipertanyakan 2 hal kepada mereka ; pertama, pengetahuan dan aplikasinya terhadap seluruh produk hukum terkait kewenangan yang diberikan raperda ini, diantaranya mengenai HAM dan beberapa kovenan internasional anti kekerasan yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Kedua, seberapa jauh telah dimilikinya perspektif keadilan gender oleh penyidik PNS ini. Kedua hal ini akan sangat berpengaruh dalam –misalnya- etika penangkapan seperti penggunaan miranda’s warning, dimana tersangka yang akan ditangkap, terlebih dahulu diberitahu bahwa mereka berhak untuk diam dan berhak untuk didampingi oleh pengacara. Jika tidak mampu membayar pengacara, negara berkewajiban untuk menyediakannya. Telahkah miranda’s warning selama ini menjadi standart ethic budaya bagi kesatuan ini dalam menjalankan tugasnya?.
Potensi pelanggaran terhadap hak sipil individu tampaknya akan semakin besar disaat kita perhatikan pasal 4 ayat (3), ’ Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (l) Pasal ini, menyampaikari hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang berlaku’. Ayat ini membuka peluang adanya penafsiran lain, bahwa kewajiban penyidik mentaati prosedur seperti diatur dalam KUHAP baru dilaksanakan setelah penyidikan selesai. Ini sangat berbahaya, sebab dalam KUHAP, prosedur penangkapan, penahanan, penggeledehan badan, pemasukan rumah, penyitaan dan pemeriksaan surat diatur oleh 34 pasal, mulai pasal 16 sampai 49. Jika demikian, pertanyaannya kemudian adalah kemanakah acuan hukum beracara dalam penyidikan terkait tindak pidana pelacuran ini akan dirujuk?.

Ketidakmampuan anggota DPRD dalam teknis pembuatan raperda (legislative drafting) juga tampak nyata. Misalkan saja, dalam pembukaan (aanherf), teorinya jika dalam konsideran (menimbang) memuat lebih dari 1 (satu) pertimbangan, maka rumusan butir pertimbangan terakhir HARUSNYA berbunyi ’ bahwa berdasarkan pertimbangan seagaimana dimaksud dalam huruf a, b dan perlu membentuk Peraturan Daerah tentang...........’. Nah, di raperda ini tidak ada. Hal lain, ada 11 ketentuan umum yang mengacu pada definisi dan akronim. Namun kalau kita cek, banyak definisi dan akronim di ketentuan umum yang tidak digunakan dalam materi pokok raperda. Misalkan kata DPRD, mucikari dan pemerintahan daerah. Inikan lucu, buat apa didefinisikan kalau tidak ada dalam materi pokok?

Kritisisme terhadap raperda ini bukan serta merta berbanding lurus dengan kesetujuan atas prostitusi itu sendiri. Akan tetapi, seyogyanya kemaslahatan umum (maslahat al ammah ) tidaklah boleh diraih secara serampangan dengan cara-cara yang bertentangan dengan hukum publik maupun mengesampaikan inti ajaran agama, yakni keadilan (al ’adalah) bagi semua pihak.
Yang tampak jelas terlihat dari reruntuhan raperda pelacuran yang amburadul ini hanyalah arogansi dan ketidakmampuan para pembuatnya, meskipun itu hanya ’sekedar’ untuk merumuskan teknis ’cuci tangan’ negara dalam urusan pelacuran. Jika dalam hal seperti ini saja mereka tidak becus, apalagi menyelesaikan problem pelacuran secara jujur dengan perspektif kemanusian. Bahkan yang lebih menjengkelkan lagi, kabarnya raperda ini sengaja akan dijadikan sebagai bargain kepentingan politik sejumlah partai dalam pilkada 2008 dan 2009. Kalau memang benar, maka dari perspektif teologi-liberatif, prilaku elit politik inilah yang mestinya layak dihukumi oleh kaum agamawan sebagai kemungkaran dan harus dirubah secara berjamaah (taghyiru al munkar bi al jama’ah). Ayo.

baca selengkapnya..
posted by Aan Anshori @ 7:03 AM  
0 Comments:
Post a Comment
<< Home
 
About Me

Name: Aan Anshori
Home: Jombang, Jawa Timur, Indonesia
About Me:
See my complete profile
Previous Post
Archives
Shoutbox

Links
Powered by

Free Blogger Templates


Free Hit CounterBLOGGER