Aan Anshori ->>Freedom to Speak
Wednesday, August 22, 2007
Kontroversi RUU APP; Baca dulu, Baru Bersikap
* dimuat di Radar Mojokerto (sekitar Juli 2006)

Gelombang dukungan dan penolakan masih terus mewarnai pembahasan rancangan undang-undang paling kontroversial di Indonesia, RUU anti pornografi dan pornoaksi (RUU Porno). Pihak yang mendukung RUU Porno ini melihat urgensi negara untuk ikut terlibat mengurusi moralitas warganya. Bahkan kalau perlu, negara melalui aparatusnya harus juga ’cawe-cawe’ menentukan apa yang harus dikenakan oleh masyarakat dan bagaimana mereka seharusnya bertingkah laku. Pandangan ini mendapat tentangan cukup keras dari banyak kelompok masyarakat yang jumlahnya tidak sedikit. Dalam pikiran mereka, urusan moralitas cukup menjadi cover area kaum agamawan, para pendidik dan kontrol masyarakat melalui norma, budaya dan agama yang diyakininya, persis seperti yang sudah berjalan seperti sekarang. Sebab, menyerahkan urusan moralitas masyarakat kepada negara bukan hanya menggelikan tetapi sekaligus membahayakan bagi iklim demokratisasi yang menghendaki minimal government. Betapa tidak, sampai saat ini belum ada satu pun negara yang mengklaim dirinya sebagai negara demokrasi yang melakukan restriksi ketat terhadap cara berpakaian dan bagaimana seorang bertingkah laku -atas nama moralitas- dengan cara memberlakukan regulasi seperti RUU Porno tersebut.

Tanpa berpretensi untuk melakukan perbandingan namun tidak diperlukannya campur tangan negara dalam urusan moralitas sangat mungkin disebabkan akan ketidakmungkinan melakukan standarisasi moralitas terutama bagi negara yang mempunyai heterogenitas latar belakang budaya dan agama. Sungguh sangat tidak masuk akal jika negara ini akan menerapkan undang-undang yang malah justru berpotensi besar menghancurkan pondasi utama kebernegaraan kita, bhinneka tunggal ika. Potensi destruksi keberagaman itu bisa cermati -salah satunya- melalui pasal 25 dalam RUU APP ’ Setiap orang dewasa dilarang mempertontonkan bagian tubuh tertentu yang sensual’. Penggalan kalimat ’bagian tubuh tertentu yang sensual’ didefinisikan dalam penjelasan RUU tersebut meliputi antara lain alat kelamin, paha, pinggul, pantat, pusar, dan payudara perempuan, baik terlihat sebagian maupun seluruhnya. Sekilas memang tidak ada yang salah dengan isi pasal ini. Namun kalau kita teliti lebih seksama akan melahirkan implikasi serius bagi eksistensi kelangsungan kebudayaan di beberapa wilayah di Indonesia. Jika RUU ini disahkan, beberapa suku di Papua yang masih menggunakan koteka sebagai busana sehari-hari akan terkena dampaknya. Padahal setidaknya ada dua hal yang tidak boleh dikesampingkan begitu saja terkait latar belakang banyak suku yang masih ’setia’ dengan ’busana minim’ itu.

Pertama, karena ingin memegang teguh tradisi yang sudah turun temurun, dan kedua, disebabkan oleh pemiskinan terstruktur yang dilakukan secara sistematis oleh negara. Seperti kita ketahui, meski kekayaan alam Papua melimpah ruah namun itu tidak secara simetris berdampak bagi kesejahteraan masyarakat disana. Secara tidak adil, berbagai aktifitas lain yang masih sering dilakukan masyarakat sebagai akibat dari kemiskinan akan terkena pasal ini. Mandi/buang hajat secara terbuka di sungai yang masih kerap dilakukan oleh sebagian masyarakat Jombang dan Mojokerto akibat dari ketidakmerataan pembangunan adalah contoh aktifitas ’normal-terkendali’ yang akan disikat melalui RUU ini.

Disamping yang lebih krusial untuk dicermati, dengan memberikan peran berlebihan kepada negara akan memperbesar peluang terjadinya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) oleh negara dengan mengatasnamakan kepentingan umum padahal ujung-ujungnya hanya merugikan pemberi mandatnya (baca: rakyat). Sejarah kelam yang ditorehkan secara mendalam oleh orde baru dimana peran dan kontrol negara begitu kuat terhadap masyarakatnya, sangat mungkin terulang jika RUU Porno ini diberlakukan. Ini disebabkan banyaknya definisi maupun aturan yang masih memungkinkan terjadi interpretasi jika diberlakukan. Ketidakjelasan definisi pornografi, pornoaksi, menari erotis dan terminologi yang lain, ditambah diberikannya legitimasi hukum dalam RUU tersebut bagi masyarakat untuk berpartisipasi memberantas pornografi dan pornoaksi, akan memicu konflik horizontal di wilayah akar rumput. Sungguh sangat mengerikan membayangkan apa yang bisa dan akan dilakukan oleh sekelompok massa yang biasanya melakukan gerakan kekerasan dan premanisme terhadap bar, karaoke, pentas dangdut, diskotik, ruang seni dan tempat-tempat yang diklaim sebagai sarang kemaksiatan jika RUU Porno ini disahkan.

Yang juga tidak boleh diabaikan begitu saja, dalam RUU tersebut masih adanya diskriminasi terhadap perempuan terkait subyek maupun obyek hukum. Memang agak susah untuk tidak diakui bahwa RUU ini berangkat dari sebuah asumsi ‘jahiliyah’, dimana menganggap perempuan sebagai satu-satunya pihak yang bertanggung jawab atas kebrobokan moralitas bangsa. Padahal harus diakui kebejatan moralitas bangsa juga banyak diakibatkan oleh para pemimpin yang tidak bertanggung jawab terhadap kesejahteraan warganya. Atasnama moralitas yang sempit, para perempuan harus dikendalikan sedemikian rupa –bahkan kalau perlu diberangus hak-hak dasarnya- agar tidak memprovokasi syahwat laki. Sebab, dunia patriakhi punya logika yang unik dan aneh, terutama dalam menjelaskan fenomena perkosaan yang kerap dilakukan oleh laki-laki. Si pemerkosa dalam hal ini tidak bisa persalahkan, karena dia hanya menjalankan ’mandat suci’ syahwatnya. Justru hukuman harus ditimpakan kepada perempuan dengan tuduhan sebagai ’biang keladi’ terjasinya instabilitas dunia persyahwatan laki-laki. Analoginya, jika ada kasus pencurian motor maka yang akan dimasukkan penjara bukan pencurinya melainkan motornya karena kendaraan tersebut ’menggoda’ untuk dicuri.

Sebuah produk hukum tidak boleh melakukan diskriminasi ataupun membuka celah terjadinya potensi diskriminasi atas nama apapun, termasuk jenis kelamin tertentu. Kasus ’salah tangkap’ yang terjadi di Tangerang dan Padang1 baru-baru ini sudah cukup menjadi pelajaran penting betapa rentannya posisi perempuan jika ada sebagian kelompok masyarakat yang mempunyai asumsi sesat terhadap perempuan, terobsesi melakukan penegakan moral melalui hukum positif. Dalam kejadian tersebut, ditengah sorotan kamera pencari berita, seorang perempuan ditangkap oleh sejumlah Satpol PP karena diduga bukan seorang ’perempuan baik-baik’ hanya karena dirinya kebetulan keluar pada malam hari. Meski akhirnya dilepas karena tidak terbukti secara sah dan meyakinkan sebagai ’perempuan tidak baik’ namun tentu kita bisa membayangkan beban moral akibat kejadian tersebut

Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa terjadi perbedaan pendapat yang demikian tajam di tengah masyarakat dalam RUU ini namun hal tersebut merupakan fenomena yang lumrah dalam kehidupan berdemokrasi. Hanya saja siapapun harus sepakat bahwa salah satu yang bisa mencederai kelangsungan demokrasi di republik ini manakala salah satu pihak berusaha memonopoli kebenaran dengan mengatasnamakan identitas tertentu. Eksistensi kehidupan demokrasi yang sudah susah payah diretas selama lebih dari setengah abad ini akan semakin terancam manakala kelompok tersebut acapkali melakukan tindakan premanisme untuk menyikapi perbedaan. Aksi premanisme yang dipadukan dengan identitas agama tertentu merupakan kombinasi senjata yang cukup ‘ampuh dan mematikan’ dalam memobilisasi massa untuk kepentingan politik tertentu di balik RUU Porno ini. Sudah tidak terhitung lagi serangkaian intimidasi, teror, pengusiran, bahkan sampai kekerasan fisik yang sudah diterima oleh kelompok penentang RUU APP. Yang patut dianalisis lebih jauh adalah kenapa masyarakat bawah (grass root) begitu mudah dimobilisasi untuk melakukan radikalisasi dalam menyikapi keberbedaan pendapat terkait RUU Porno akhir-akhir ini? Tentu banyak sekali faktornya. Namun ketidaktahuan terhadap isi dan implikasi RUU itu, bisa dikatakan sebagai faktor dominan yang tidak bisa dianggap remeh.

Disinilah saya menilai kelompok pro RUU Porno cenderung tidak menganggap penting untuk membaca terlebih dahulu pasal demi pasalnya. Alih-alih melakukan sosialisasi penguatan kesadaran kritis masyarakat kaitannya dengan RUU ini, yang terjadi malah justru sebaliknya. Ketidakmampuan masyarakat untuk mengakses informasi seputar rancangan itu seluas-luasnya telah secara kasat mata “dimanfaatkan” sedemikian rupa oleh kelompok tertentu untuk menggencet kelompok lain yang selama ini memiliki pandangan berbeda atas RUU ini. Penelikungan ini bukan hanya berbahaya bagi konsolidasi demokrasi kenegaraan yang sedang diretas pemerintah bersama elemen lainnya, namun lebih dari itu, pemanfaatan ketidaktahuan masyarakat untuk kepentingan politik tertentu –secara tanpa sadar- telah meletakkan mereka tidak lebih dari sebuah obyek dalam proyek dehumanisasi paling besar dalam sejarah keberadaban manusia.

Masyarakat seharusnya perlu diajak bersama-sama mengetahui isi dan impilkasi dari rancangan kontroversial yang tengah digodok oleh wakil-wakil mereka di Senayan. Ketercukupan pemahaman atas RUU Porno ini oleh masyarakat akan berimplikasi positif setidaknya dalam 2 (dua) hal, pertama, akuntabilitas dan independensi sikap politik mereka terkait RUU Porno, dan kedua, imunitas terhadap provokasi berkedok agama untuk melakukan radikalisasi dan premanisasi terhadap hak kemerdekaan berpendapat orang lain. Jadi, tunggu apa lagi? Baca dulu baru bersikap.

baca selengkapnya..
posted by Aan Anshori @ 9:17 PM  
0 Comments:
Post a Comment
<< Home
 
About Me

Name: Aan Anshori
Home: Jombang, Jawa Timur, Indonesia
About Me:
See my complete profile
Previous Post
Archives
Shoutbox

Links
Powered by

Free Blogger Templates


Free Hit CounterBLOGGER